Ciuman Penyebar Maut
Berciuman tak selamanya mengasyikkan. Jika pasangannya mengidap virus glandular, bisa ketularan. Mematikan. CIUMAN selalu menarik perhatian. Juga di Inggris. Dua pekan silam, kala Lembaga Riset Kedokteran Universitas Edinburgh mengumumkan akan melakukan studi mengenai penyakit ciuman, para pelajar setempat menyambutnya dengan antusias. Hanya tiga hari setelah dibuka pendaftaran, jumlah peminatnya mencapai 600 pelajar. "Mereka kelihatannya sangat mendukung dan ingin membantu masa depan mereka," ujar Profesor Dorothy Crawford dari Bagian Mikrobiologi Kedokteran Universitas
Boleh jadi, infeksi itu muncul karena sejak kecil para bocah itu sering diciumi oleh orangtuanya ataupun orang lain. Namun, pada usia itu, virus Epstein-Barr hanya mendekam di tubuh tanpa menimbulkan gejala demam ciuman. Meski menular, sejauh ini penyakit ciuman masih dianggap tidak serius. Gejalanya, antara lain, flu, demam, dan lemas. "Juga muncul benjolan-benjolan kelenjar getah bening terutama di sekitar leher. Maka, dokter menyebutnya sebagai demam glandular," ujar Profesor Hendarto Hendarmin, ahli penyakit telinga-hidung-tenggorokan di FK-UI. Gejala itu pun cuma muncul selama dua-tiga pekan. Setelah itu, gejala tersebut bakal hilang bila penderita beristirahat cukup, menenggak obat penurun panas, dan banyak minum air. Kemudian, jika kondisi penderita sudah prima, virus Epstein ngumpet lagi. Tidak berarti penyakit ini boleh diremehkan. Sebab, jika kondisi penderita parah, maka akan timbul komplikasi yang tak boleh dipandang enteng. Misalnya, radang jantung yang mematikan, radang selaput otak, hepatitis, dan radang ginjal. Profesor Nancy Raab-Traub, ahli imunologi pada Universitas North Carolina, Amerika Serikat, juga menyebutkan bahwa virus Epstein-Barr berpotensi menyebabkan kanker. Baik kanker mulut, kanker perut, maupun kanker limfoma (kelenjar getah bening). Ini terjadi karena virus itu bisa masuk ke dalam darah dan menekan antibodi. Dalam penelitiannya, Raab-Traub yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti dari Universitas Osaka, Jepang, membuktikan melalui dua tikus yang saling ciuman. Seperti dikutip majalah Science, edisi 8 Oktober lalu, air liur seekor tikus yang mengandung virus Epstein-Barr, setelah berciuman dengan tikus sehat,
membuat keduanya tertular virus itu. Setelah tertular, ternyata kadar CD-40 di dalam darah tikus yang semula sehat itu menurun drastis.
CD-40 adalah molekul di dalam sistem pertahanan tubuh yang berfungsi menangkal penyakit. Kemudian, air liurnya memproduksi LMP1 (latent membrane protein-1), sejenis protein yang menekan produksi CD-40. Ujung-ujungnya, tikus tadi terkena kanker. "Virus ini bisa merangsang organ tubuh yang terserang menjadi ganas," kata Traub. Yang mengkhawatirkan lagi, hingga kini belum ada vaksin pembasmi demam glandular tersebut. Sejauh ini, obat penawarnya sekadar menangani gejala-gejalanya. Ternyata, berciuman tak selamanya mengasyikkan.