Struktur-struktur Keamanan Regional

Di sepanjang abad ke-20, para negara telah melihat para tetangga dekat mereka sebagai sumber-sumber ancaman atau perlindungan yang potensial. Dengan memberi fokus pada para tetangga ini, para negara telah berupaya menyusun aturan-aturan dan norma-norma tentang bagaimana para negara di dalam suatu pengelompokan regional tertentu seharusnya bertindak. Berbeda dengan level global atau lokal, level regional adalah tempat di mana kebanyakan arrangement keamanan pasca 1945 yang berhasil bisa ditemukan. Level ini juga merupakan level di mana mekanisme dan preseden untuk solusi mungkin sudah tersedia. Barry Buzan menyatakan bahwa sifat relasional dari keamanan membuat tidak mungkin untuk memahami pola-pola keamanan nasional dari suatu negara tanpa adanya suatu pemahaman yang kuat tentang interdependensi keamanan regional tempat negara tersebut berada. Karena itu, kawasan adalah level analisa yang paling tepat untuk mengamati isu-isu yang berkaitan dengan tatanan internasional. 


Apakah suatu kawasan (region) itu? Suatu kawasan didefinisikan disini sebagai suatu set negara-negara yang berlokasi yang secara geografis berdekatan satu sama lain. Namun, interaksi keamanan antara kesemua negara dalam suatu kawasan tidak perlu bersifat langsung, karena negara-negara yang berada di sisi-sisi yang berlawanan di kawasan tersebut tidak mungkin mempunyai banyak kontak dengan satu sama lain, namun mereka bisa terlibat ke dalam set yang sama baik berupa aliansi maupun krisis. 


Dimulai dengan suatu pengamatan atas level analisa regional. Hal ini mencakup suatu pengamatan atas beragam pendekatan terhadap keamanan regional yang dimulai dengan suatu perbandingan antara tiga pendekatan tradisional yang mendominasi era Perang Dingin, aliansi-aliansi atau arrangement pertahanan kolektif tradisional seperti NATO; struktur-struktur keamanan kolektif global seperti PBB; dan keamanan concert yang didasarkan oleh Concert of Europe pada abad ke-19.

selanjutnya kita coba mengeksplorasi pendekatan-pendekatan alternatif terhadap keamanan regional: keamanan bersama, keamanan komprehensif dan keamanan kooperatif. Perbedaan di antara kedua set pendekatan ini adalah bahwa yang pertama cenderung memberi fokus pada suatu definisi yang sempit, atau realist, tentang keamanan yang berkonsentrasi pada ancaman-ancaman militer, sedangkan yang kedua melibatkan definisi yang lebih luas yang mencakup ancaman-ancaman non militer terhadap keselamatan suatu negara dan rakyatnya.
Di dalam era pasca Perang Dingin, asumsi-asumsi tentang sifat keamanan internasional dan bagaimana para negara berinteraksi secara strategis perlu diamati ulang untuk bisa memahami dengan lebih baik bagaimana stabilitas dan tatanan bisa dipertahankan. Asumsi-asumsi yang dipunyai negara tentang bagaimana interaksi keamanan mereka meningkatkan atau mengurangi keamanan mereka juga perlu dipertimbangkan kembali. Bandingkan antara teori-teori realis, institusionalis dan konstrutktivisme saat mereka membahas prospek-prospek kerjasama keamanan. Dinyatakan bahwa jika negara terus melaksanakan hubungan luar negeri mereka seperti yang diinginkan kaum realist, maka hubungan internasional akan mengalami masalah dikarenakan ketidak-stabilan di antara para kekuatan yang saling bersaing. Namun, jika para negara bisa menangani struktur-struktur sosial yang berubah-ubah dalam sistem internasional pasca Perang Dingin dan mengadopsi kebijakan keamanan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, maka stabilitas yang berlangsung selama Perang Dingin pasti akan berlanjut.



Perdebatan antara berbagai penyusun teori mencerminkan arti penting dari transformasi ini. Postur-postur dari setiap teori adalah hal penting dalam menangani perubahan konteks dari bagaimana negara seharusnya berinteraksi di dalam era pasca Perang Dingin. Perdebatan menjadi muncul karena realist institusionalis neoliberal dan konstruktivist mempunyai perbedaan di dalam penilaian mereka atas alasan-alasan adanya kerjasama negara. Ketiga aliran tidak bersepakat tentang sifat dari interaksi antar negara. Realist menyataan bahwa karena negara adalah pemaksimal kekuatan atau keamanan, mereka tidak mungkin bekerjasama dengan satu sama lain sekalipun jika mereka mempunyai kesamaan kepentingan karena sistem internasional ‘self-help’ menjadikan kerjasama sebagai hal yang sulit. Institusionalist menyatakan bahwa institusi bisa membantu mengatasi anarki internasional dengan membantu membentuk kepentingan dan praktik para negara. Walaupun pendekatan-pendekatan realist dan institusionalist tampaknya menjadi alternatif yang saling berlawanan, para pembuat ebijakan bisa memilih antara keduanya untuk menangani area isu yang berbeda atau bahkan isu yang berbeda di dalam suatu area isu yang spesifik. Robert Keohane dan Joseph Nye menyatakan bahwa realisme dan institusionalisme saling harmonis dengan satu sama lain karena keduanya didasarkan pada suatu pandangan utilitarian terhadap sistem internasional, di mana para aktor individual mengupayakan kepentingan mereka sendiri dengan merespon pada insentif-insentif (dorongan). Kedua doktrin menghipotesakan konsepsi yang sama tentang aksi politik internasional: suatu proses pertukaran politik dan ekonomi, yang ditandai dengan tawar menawar antar negara. Keduanya mengasumsikan bahwa perilaku negara didasarkan pada pengambilan keputusan yang rasional. Perbedaan di antara keduanya terletak pada asumsi-asumsi mereka tentang tujuan-tujuan para aktor di dalam sistem internasional. Bagi realist, kekuatan militer adalah faktor penentu paling pentung dari kekuatan suatu negara dikarenakan anarki internasional ‘self-help’ di mana para negara berada.

Namun bagi para institusionalis, dorongan-dorongan ekonomi dan politik adalah sama pentingnya seperti keamanan militer. Institusionalis neoliberal menyatakan bahwa para negara akan menerima pembatasan-pembatasan atas aksi mereka saat mereka mengetahui keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari prinsip imbal baik dan kerjasama yang diperkuat. Prinsip imbal balik bergantung pada dua prinsip: kontingensi dan ekuivalensi. ‘Kontingensi’ adalah prinsip memberi penghargaan pada orang lain atas aksi-aksi positif mereka sambil menghukum mereka atas aksi-aksi negatif mereka. Jadi kerjasama diberi hadiah sedangkan non-kooperasi dihalangi oleh ancaman aksi hukuman. Karena itu imbal balik membalas keburukan dengan keburukan dan kebaikan dengan kebaikan. ‘Ekuivalensi’ mengacu pada suatu kesetaraan kira-kira di dalam level imbalan yang dipertukarkan antar negara. Dalam kasus-kasus di mana para pelaku mempunyai kemampuan kekuatan yang tidak setara, ekuivalensi akan menghasilan suatu imbal balik barang dan jasa yang mempunyai nilai yang sama bagi para pelaku namun, jika dalam keadaaan lain, tidak bisa dibandingkan dalam hal nilai. ‘Pertukaran-pertukaran ini seringkali, namun tak selalu, bersifat saling menguntungkan; pertukaran tersebut mungkin didasarkan pada kepentingan diri sendiri dan juga pada kesamaan konsep tentang hak dan kewajiban; dan nilai dari apa yang dipertukarkan bisa jadi sebanding atau bisa juga tidak. Hal ini adalah hal yang sangat penting bagi imbal balik, karena suatu ‘ketiadaan ekuivalensi kemungkinan akan membuat para aktor salah memahami strategi dan cenderung menghasilkan pertikaian yang semakin besar daripada kerjasama’. Arti penting dari imbal balik dalam menfasilitasi pembangunan suatu komunitas keamanan pluralisti ditunjukkan oleh kerjasama Perancis-Jerman pasca 1945. Di dalam kerjasama ini, kontingensi dan ekuivalensi ditunjukkan di dalam bahwa ekuatan ekonomi dan militer Jerman diintegrasikan ke dalam struktur-struktur kooperatif Eropa yang didominasi oleh inisiatif kebijakan Perancis. Melalui cara ini, Jerman mendapatkan pengakuan yang semakin besar sebagai suatu negara ‘normal’ sedangkan Perancis mendapatkan keuntungan dari, bukannya mengkhawatirkan, kebangkitan Jerman, Hal ini mengarah pada berkembangnya suatu persahabatan yang erat antara Perancis dan Jerman yang hampir tak bisa dibayangkan akan terjadi sampai sekarang.
Aliran pemikiran konstruktivist menyatakan bahwa perpolitikan internasional adalah ‘terkonstruksi secara sosial’. Maksudnya, struktur-struktur ‘sistem’ internasional tidak hanya memperhatikan distribusi sumber daya material namun juga mencakup interaksi-interaksi sosial, dan hal-hal ini membentuk identitas dan kepentingan para aktornya, bukan hanya perilaku mereka. Makanya, bagi konstruktivist, struktur internasional tak hanya mencakup distribusi kemampuan-kemampuan material namun juga hubungan-hubungan sosial. Alexander Wendt menyatakan bahwa struktur-struktur sosial ini mempunyai tiga elemen: prasangka, sumber daya material dan praktik bersama. Prasangka bersama (Shared Knowledge/kesamaan prasangka) mengacu pada sifat hubungan antara para pelaku di dalam sistem tersebut. Pola-pola sosial dalam permusuhan dan persahabatan di sini adalah penting karena akan muncul persaingan jika para negara menjadi sangat tidak mempercayai satu sama lain sehingga mereka terbiasa membuat asumsi-asumsi terburuk tentang satu sama lain. Kerjasama, di fihak lain, akan terjadi jika persahabatan terjalin antara para negara dan terdapat cukup saling percaya di antara mereka sehingga tak satupun akan menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan pertikaian mereka. Distribusi sumber-sumber daya material juga adalah penting, namun hal ini hanya akan membawa masalah jika prasangka bersama di antara negara-negara ikut dipertimbangkan. Wendt memberikan contoh tentang 500 rudal nuklir Inggris yang tidak begitu memberi ancaman bagi America Serikat dibandingkan lima senjata nuklir Korea Utara. Persahabatan antara Amerika Serikat dan Inggris membuat tidak mungkin untuk membayangkan suatu situasi di mana Inggris akan menggunakan senjata mereka terhadap Amerika Serikat, sedangkan permusuhan antara Amerika Serikat dan Korea Utara berarti bahwa kejadian seperti itu, walaupun tidak mungkin, adalah hal yang bisa terbayangkan. Terakhir, konstruktivist menyatakan bahwa struktur sosial seperti itu terwujud tak hanya karena kita berfikir bahwa hal itu ada namun juga karena para pembuat kebijakan percaya bahwa hal itu ada dan dengan sendirinya sesuai dengan prasangka bersama, sehingga menciptakan kembali struktur sosial tersebut melalui praktiknya.
Wendt memberikan contoh bahwa ‘Perang Dingin adalah suatu struktur prasangka bersama yang mengatur hubungan adikuasa selama 40 tahun, namun saat mereka berhenti bertindak berdasarkan hal ini, maka Perang Dingin menjadi ‘tamat’. Karena itu, pengelolaan struktur sosial yang berubah dari dunia pasca Perang Dingin adalah sama pentingnya bagi pengembangan stabilitas regional seperti perubahan dalam sumber-sumber daya material, atau kemampuan-kemampuan, dari para negara anggota kedua aliansi yang sebelumnya bermusuhan.

Pertahanan Kolektif (collective defence)
Bentuk keamanan regional yang paling dominan pada abad ke-19 dan ke-20 adalah bentuk pertahanan kolektif atau aliansi. Aliansi adalah struktur di mana para aktor regional berupaya mensekutukan diri mereka dengan negara-negara lain yang berpandangan sama dalam menghadapi hal yang dianggap sebagai ancaman atau musuh bersama yang jelas. Robert Osgood mendefinisikan suatu aliansi sebagai suatu kesepakatan (agreement) formal yang membuat para negara untuk berkomitmen untuk menggabungkan kekuatan militer mereka terhadap suatu negara atau negara-negara tertentu. Aliansi biasanya juga mengharuskan setidaknya salah satu partisipannya untuk menggunakan kekuatan, atau setidaknya mempertimbangkan penggunaan kekuatan dalam suatu keadaan-keadaan yang ditentukan secara khusus. Karena aliansi biasanya terdiri dari para negara berpandangan sama yang bersatu untuk menghadapi suatu ancaman atau musuh eksternal, aliansi jarang mengandung mekanisme penyelesaian pertikaian apapun untuk ancaman-ancaman internal.
Seperti telah disebutkan di atas, walaupun aliansi umumnya mengadopsi suatu definisi sempit, atau realist, tentang keamanan, pencegahan suatu ancaman militer langsung pada teritori berdaulat dari para negara, aliansi juga menawarkan suatu keuntungan politik pada para anggota di mana mereka bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan keamanan dari masing-masing negara. Motif-Motif politik seperti itu untuk aliansi tidak bisa secara mudah dipisahkan dari motif militer, namun adalah hal yang mungkin untuk membedakan beberapa aliansi di mana satu tipenya adalah lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Aliansi militer muncul ketika terdapat suatu, namun adalah hal yang mungkin untuk membedakan beberapa aliansi di mana satu tipenya adalah lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Aliansi militer muncul ketika terdapat suatu ancaman yang kelas yang tidak bisa diimbangi oleh sumber-sumber daya dari satu negara tunggal. Aliansi politik berkembang jika terdapat keuntungan yang jelas yang bisa dibantu untuk dipelihara oleh aliansi tersebut. Aliansi-aliansi seperti itu adalah aliansi yang membantu memelihara atau menjustifikasi suatu distribusi kekuatan tertentu (yang seringkali diukur dalam takaran militer) di dalam sistem internasional yang menguntungkan bagi para anggota aliansi.
Aliansi bisa bersifat bilateral, yang terdiri dari dua negara setara atau satu negara besar dan satu negara kecil, atau bisa bersifat multilateral, yang terdiri dari tiga negara atau dengan kekuatan setara atau beragam. Di dalam Perang Dingin, dua aliansi yang besar adalah NATO dan Organisasi Traktat Warsawa (WTO atau Pakta Warsawa). Keduanya dibentuk di bawah kepemimpinan dua adi kuasa, Amerika Serikat dan Uni Soviet, untuk meng-counter ancaman yang jelas dirasaan yang ditimbulkan oleh masing-masing negara adi kuasa pada keamanan fihak lain dan negara sekutu atau negara klien-nya.
Aliansi utamanya berfungsi untuk menghalangi setiap aksi agresi dari fihak kekuatan regional yang tidak puas dengan mengindikasian, dengan cara yang setepat mungkin, bahwa setiap penyerang akan harus menghadapi kekuatan gabungan dari para anggota aliansi, dan tidak hanya kekuatan militer nasional dari negara korban awal. Walaupun kekuatan-kekuatan regional kecil cenderung untuk beraliansi dengan para adi kuasa untuk menghalangi serangan seperti itu dari suatu negara adi kuasa pesaing, negara-negara adi kuasa, selain motif penghalangan (deterrence), mungin juga beraliansi dengan suatu kekuatan regional kecil untuk mencegah agar tidak melakukan suatu aksi agresif. Amerika Serikat, contohnya, menandatangani traktat-traktat pertahanan bersama dengan Korea Selatan dan Republik China para tahun 1950-an, untuk tak hanya menghalangi serangan-serangan pada kedua negara tersebut namun juga mencegah Korea Selatan menyerang Korea Utara dan Taiwan agar tidak menyerang China daratan yang komunis.
Tingkat komitmen di dalam aliansi bisa juga sangat bervariasi. Pada era pasca 1945, Amerika menandatangani beberapa traktat. Traktat yang paling menonjol adalah dengan kebanyaan negara Eropa Barat dan Canada (NATO), dengan Jepang (Mutual Security Treaty atau MST) dan dengan Australia dan Selandia Baru (ANZUS). Di bawah Traktat NATO, para partner diharuskan untuk membantu setiap negara anggota yang teritori nasionalnya (di dalam definisi geografis Area Atlantik Utara) diserang. Namun Traktat ANZUS dan MST meminta komitmen yang lebih kecil dan Amerika Serikat hanya diharuskan untuk berkonsultasi dengan Jepang, Australia atau Selandia Baru, jika suatu fihak menganggap bahwa integritas atau keamanan teritorialnnya sedang terancam dan bertindak untuk menghadapi ancaman tersebut sesuai dengan proses-proses konstitusional.
Kontingensi di bawah aliansi-aliansi ini bisa diaktifkan terhadap fihak-fihak yang biasanya ditentukan di dalam traktat-traktat tersebut, namun bisa begitu umum diungkapkan sehingga kontingensi tersebut hanya bisa diduga-duga. Bagaimanapun juga, terdapat suatu pemahaman yang jelas tentang tujuan dan perang komponen militer dari traktat-traktat tersebut. Level kerjasama militer di kalangan para anggota aliansi adalah suatu indikator yang jelas tentang komitmen setiap fihak pada aliansi terkait. Para sekutu NATO, contohnya, telah mendirian suatu komando militer gabungan untuk kekuatan mereka di Eropa Barat dan Atlantik Utara. Selama Perang Dingin, struktur komando terpadu dari NATO menjamin bahwa jika salah satu negara anggota diserang, aan ada suatu respon militer otomatis oleh NATO sebagai satu keseluruhan. Demikian juga, sebagian besar Komando Pasifik Amerika Serikat ditempatkan secara permanen di Jepang, yang berarti bahwa setiap serangan pada Jepang akan secara otomatis melibatkan militer Amerika Serikat dalam satu bentuk atau bentuk lainnya. Komitmen militer Amerika Serikat pada Australia dan Selandia Baru, di fihak lain, adalah jauh lebih kecil. Bahkan sebelum Amerika Serikat menangguhkan Selandia Baru dari Traktat ANZUS dikarenakan penolakannya untuk mengizinkan kapal-kapal AL Amerika Serikat yang bersenjata nuklir untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Selandia Baru, kerjasama militer di antara ketigannya adalah terbatas pada latihan-latihan periodik dan konsultasi tahunan tingkat kementerian. Amerika Serikat menempatkan sejumlah kecil personel militer di pangkalan-pangkalan gabungan di Australia, namun mereka hanya diperlengkapi untuk pengumpulan intelegen bukannya pertempuran langsung. Karena itu, jika Australia (atau Selandia Baru) diserang, kemungkinan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan militer adalah jauh lebih kecil dibanding dengan kasus Eropa Barat, Canada atau Jepang.

Keamanan Kolektif (collective security)
Keamanan kolektif adalah berbeda dari aliansi dalam hal bahwa pada keamanan koletif para anggotanya tidak selalu negara-negara yang berpandangan yang sama namun bersepakat untuk tidak menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka dan untuk merespon secara kolektif pada setiap pelanggaran terhadap aturan ini. Makanya, tidak seperti keamanan kolektif, dimana komitmennya adalah untuk bertindak dalam mempertahankan diri terhadap suatu agresi yang diketahui atau dirasakan, di dalam suatu sistem keamanan kolektif, komitmennya adalah untuk merespon pada suatu agresor yang tidak diketahui, atau setidaknnya tidak disebutkan secara pasti dalam rangka mendukung satu korban negara yang tidak diketahui.
Pendekatan ini, yang berfokus pada suatu definisi ancaman militer yang lebih sempit dari keamanan, berkaitan dengan suatu analisa institusionalis neoliberal tentang motif untuk perilaku negara. Institusionalist neoliberal menyatakan bahwa institusi-institusi seperti organisasi keamanan kolektif bisa membantu untuk mengatasi anarki internasional dengan membantu membentuk kepentingan dan praktik para negara. Bagi pada institusionalist neoliberal, alasan mendasar untuk adanya kerjasama internasional adalah pengakuan adanya kepentingan bersama di kalangan negara. Kepentingan bersama berkembang dari ketakutan serupa terhadap kekerasan tak terkekang atau kesepakatan-kesepakatan yang tidak stabil, atau ketidak-amanan terhadap kemerdekaan atau kedaulatan. Para institusionalist awal mengidentifikasi landasan dasar masyarakat internasional sebagai suatu set hak dan kewajiban yang bersifat seragam. Kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan setiap negara atau bangsa adalah didasarkan pada prinsip imbal bali dan aturan serta norma masyarakat adalah diciptakan berdasarkan persetujuan bersama. Terlebih lagi, aturan-aturan dan norma-norma ini diciptakan bukan dari konsep-konsep mengenai cara bagaiman para negara harus berinteraksi dengan satu sama lain melainkan berdasarkan pada konsep bahwa semua pertukaran internasional menjadi subyek (atau bergantung pada) aturan hukum.
Bagi institusionalist kontemporer, aturan dan norma terus menjadi panduan yang memungkinkan para negara untuk bekerja sama dan mengatur konflik di kalangan mereka sendiri. Hal ini mendorong perkembangan institusional di mana para negara yang mendukung norma-norma tersebut akan bekerja bersama-sama di dalam lembaga-lembaga, seperti organisasi keamanan kolektif, untuk melindungi dan mendorong mereka.
Neoliberalist berpendapat bahwa institusi bisa menambah kejelasan dan tingkat kepermanenan kerjasama internasional. Pada khususnya, lembaga-lembaga internasional bisa membantu mengatasi pengaruh negatif dari anarki dengan mengembangkan ‘pola-pola praktik yang diakui yang menjadi patokan berkonvergensinya ekspetasi-ekspetasi’. Terlebih lagi, para institusionalist menyatakan bahwa institusi internasional membantu untuk membentuk ekspetansi-ekspetansi yang menjadi faktor-faktor penentu yang sangat penting bagi perilaku negara. Jika para negara terus mematuhi aturan dan norma yang ditetapan melalui institusi-institusi internasional, mereka menunjukkan kesediaan mereka untuk meneruskan pola-pola kerjasama ini dan karenanya meningkatkan ekspetasi-ekspetasi untuk stabilitas.
Tidak seperti pertahanan kolektif, yang didasarkan pada pengimbangan terhadap agresor-agresor potensial, keamanan kolektif memberikan suatu deterrent yang lebih besar terhadap agresu dengan memastikan bahwa setiap agresor pasti harus menghadapi suatu kekuatan besar yang bersekutu melawannya. Para kritikus keamanan kolektif menyatakan bahwa para negara di dalam keamanan kolektif tersebut terlalu bergantung pada arrangement tersebut dan jika kesepakatan ini gagal mereka akan ada dalam keadaan yang jauh lebih buruk dibanding jika seandainya mereka ada dalam suatu aliansi. Kritikan tersebut bersumber dari masalah bahwa dalam satu kumpulan besar yang terbentuk untuk memberikan suatu kebaikan bersama, seperti misalnya suatu lingkungan internasional yang aman dan stabil, terdapat suatu dorongan besar bagi para negara untuk ‘membonceng gratis’, yaitu menikmati keuntungan-keuntungan dari kebaikan bersama tersebut (stabilitas yang ditawarkan oleh struktur keamanan kolektif) namun tidak mau berpartisipasi dalam aksi kolektif terhadap para agresor. Jika terdapat cukup banyak negara yang melakukan kebijakan ‘pemboncengan gratis’ (free-ride), akan menjadi sangat sulit untuk mengumpulkan suatu kekuatan yang cukup kuat untuk menghalangi serangan-serangan dari para negara agresor. Namun, Charles dan Clifford Kupchan menyatakan bahwa masalah pemboncengan gratis mempunyai kemungkinan yang sama untuk muncul di dalam pertahanan kolektif seperti halnya di dalam keamanan kolektif. Memang, suatu kekuatan (negara) kecil adalah jauh lebih mungkin untuk membonceng gratis di dalam suatu kesepakatan pertahanan kolektif jia suatu kekuatan yang besar menempatkan pasukannya sendiri di wilayah negara yang kekuatannya kecil, atau bertempat jauh dari garis depan aliansi seperti semula diharapkan. Satu contoh klasik adalah Kanada selama Perang Dingin, ketika negara ini membentuk suatu kekuatan militer yang kecil dan hanya bersedia mengirimkan sejumlah kecil tentara ke Eropa Barat.
Keamanan kolektik berupaya mengatur perilaku internasional tak hanya dengan menghalangi para agresor, namun juga dengan mentransformasi sifat kompetitif dari interaksi para negara. Walaupun sistem keamanan kolektif berfungsi sangat baik dalam kondisi-kondisi di mana terdapat setidaknya sedikit persahabatan di antara para negara berkekuatan besar, namun keamanan kolektif bisa membantu melembagakan rasa saling percaya di antara para partisipan. Dengan meningkatkan level saling percaya di kalangan para negara anggota, keamanan kolektif bias membantu untuk mengurangi dilema keamanan yang dihadapi oleh para negara dan men-demiliterisasi persaingan antara negara.
Walaupun PBB bukan merupakan suatu struktur keamanan kolektif yang sempurna, namun PBB adalah struktur yang paling sering dibahas. Prinsip ‘semua untuk satu dan satu untuk semua’ dari keamanan kolektif dituliskan dalam Piagam PBB, di mana semua negara anggota sepakat untuk menggunakan cara-cara damai untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian mereka dan bertindak secara kolektif untuk mencegah atau menghilangkan setiap ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas dari negara-negara individual. Namun, para pencipta PBB melihat bahwa keamanan kolektif bergantung pada kepemimpunan para negara-negara berkekuatan besar. Akibatnya, piagam ini mengandung suatu caveat (keberatan) jika suatu aksi kolektif yang dilakukan oleh PBB akan memerlukan kesepakatan dan dukungan dari lima negara adikuasa: Amerika Serikat, Uni Soviet/Russia, Perancis, Inggris dan China. Jika para adikuasa ini sepakat aksi kolektif diperlukan maka kewajiban para negara kecil adalah untuk menerima aksi tersebut.
Namun, perbedaan ideologis di masa Perang Dingin membatasi kemampuan dari kelima negara besar tersebut untuk mencapai kesepakatan mengenai setiap aksi keamanan kolektif. Satu-satunya kasus ketika PBB mampu mencapai suatu kesepakatan adalah yang ditujukan untuk merespon pada invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan. Di sini, dikarenakan suatu boikot awal Soviet terhadap Badan Keamanan, PBB memerintahkan suatu respon kolektif terhadap aksi agresi Korea Utara. Dengan berakhirnya Perang Dingin, keamanan kolektif kembali diajukan sebagai suatu basis potensial untuk keamanan regional dan global. Pada tahun 1990, saat Irak menginvasi Kuwait, PBB memerintahkan suatu respon kolektif. Keberhasilan koalisi pimpinan Amerika Serikat terhadap Irak dan dukungan yang diberikan Russia dan China untuk operasi tersebut mengarah pada banyaknya pembicaraan mengenai suatu ‘tatanan dunia baru’ yang berpusat pada komitmen keamanan kolektif baru oleh PBB. Namun, hal ini tidak muncul karena para adikuasa sekali lagi memulai untuk tidak bersepakat mengenai beberapa isu keamanan penting. Di Amerika Serikat, meningkatnya pergerakan isolasionist memberikan tekanan pada pemerintah untuk tidak menempatkan tentara Amerika Serikat di konflik-konflik regional seperti yang ada di Bosnia. Pada saat yang sama, negara-negara Eropa terbukti tidak mampu merespon secara efektif pada krisis-krisis regional tanpa dukungan dan keterlibatan langsung Amerika Serikat. Russia juga berupaya untuk mempertahankan sebisanya atas cakupan pengaruhnya semasa Perang Dingin dan tidak bersedia untuk mengizinkan aksi unilateral Amerika Serikat di Balkan atau Timur Tengah. Terakhir, China mulai mengupayakan pengaruh yang lebih besar di Asia Timur dan menentang keberlanjutan hegemoni Amerika Serikat di kawasan tersebut. Saat PBB terbukti tidak efektif dalam upaya-upayanya untuk mengatasi isu-isu keamanan penting, institusi-institusi keamanan regional (seperti NATO di Bosnia) mengambil alih untuk membantu menyelesaikan pertikaian-pertikaian tersebut.

Concert Security
Charles dan Clifford Kupchan mendukung tentang suatu sistem keamanan kolektif karena mereka melihatnya sebagai suatu sistem yang lebih handal (reliable) untuk menjadi dasar bagi keamanan regional dibanding melalui aliansi-aliansi perimbangan dan persaingan. Namun mereka melihat efek-efek batasan dari keamanan kolektif, di mana struktur-struktur tersebut bersifat komprehensif dalam keanggotaan dan menerapkan suatu komitmen mengikat pada para anggota untuk merespon pada aksi-aksi agresi. Karena terdapat suatu keanggotaan yang besar dan beragam, mungkin terdapat masalah bagi para negara anggota untuk bersepakat mengenai apa yang bisa dianggap sebagai agresi. Terlebih lagi, dengan sejumlah besar partisipan, organisasi dan dukungan logistik untuk setiap aksi kolektif akan sangat sulit untuk dikoordinasikan dan bisa mengganggu kemampuan kolektif untuk merespon.
Kupchan bersaudara menyatakan bahwa suatu sistem concert yang hanya terdiri dari pada negara kuat di masa itu adalah suatu sistem yang lebih praktis untuk suatu struktur keamanan regional. Seperti keamanan kolektif, concert didasarkan pada prinsip aksi kolektif, namun di dalam suatu sistem concert, sekelompok kecil negara kuat bekerja bersama-sama untuk mencegah agresi. Para anggota tidak diikat oleh suatu komitmen formal untuk merespon pada agresi akan tetapi untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan pertikaian atau krisis melalui negosiasi informal. Sistem concert adalah didasarkan pada Concert of Europe pada Eropa pasca era Napoleon di abad ke-19. Dalam periode ini, para negara kuat saat itu (Inggris, Perancis, Prussia, Austria-Hungaria dan Russia) mengelola masalah-masalah Eropa mereka dengan didasarkan prinsip bahwa mereka aan menetapkan aturan-aturan dan norma bagi semua anggota sistem tersebut.
Kupchan bersaudara menyatakan bahwa ada tiga kondisi yang perlu dipenuhi agar suatu concert bisa efektif. Pertama, masing-masing negara harus bersifat rapuh pada aksi kolektif. Yaitu, tak satupun negara yang bisa begitu besar sehingga jika semua negara lain di dalam sistem tersebut bergabung, mereka tidak akan lagi mempunyai kekuatan berlebih. Di Eropa abad ke-19, tak satupun dari lima negara kuat yang cukup kuat untuk mencemoohkan keinginan negara-negara yang lain. Pada era pasca Perang Dingin, walaupun Amerika Serikat mempunyai keunggulan besar dalam hal kekuatan militer konvensional, Amerika Serikat pun akan merasa sulit untuk bertindak terpisah sepenuhnya dari komunitas internasional. Terlebih lagi, persenjataan nuklir dari negara-negara kuat yang lain membuat Amerika Serikat menjadi rapuh jika ada tindakan balasan.
Komponen utama kedua dari suatu concert yang sukses adalah kesepakatan di kalangan negara kuat tentang apa yang bisa disebut sebagai tatanan internasional yang bisa diterima (diinginkan). Dalam tema ini, tidak boleh ada kekuatan (negara) kuat revisionist yang ingin menjungkir-balikan status quo tatanan internasional. Di Eropa pasca Napoleon, concert dipertahankan ketika semua negara kuat memegang suatu konsensus anti-revolusioner yang kuat, namun hal ini menguap ketika pemerintah-pemerintah  baru mulai berkuasa setelah revolusi 1848. Sebagai akibatnya, krisis atas Crimea, yang tidak lebih penting dari isu-isu lain yang sebelumnya telah dinegosiasikan dengan sukses oleh concert tersebut, mengarah pada suatu perang besar di antara negara-negara kuat. Saat ini, Russia dan China mempunyai ambisi-ambisi teritorial yang belum terselesaikan. Di Russia, beberapa elemen nasionalist masih mendukung kembalinya ke kontrol gaya Soviet atas wilayah-wilayah bekas Uni Soviet. China juga adalah suatu negara kuat yang tidak terpuaskan dan mempunyai ambisi-ambisi teritorial dalam kaitannya dengan Taiwan dan teritori strategis di Laut China Selatan.
Persyaratan terakhir untuk suatu sistem concert adalah agar para elit politik dari negara-negara kuat harus mengakui keberadaan suatu komunitas internasional dan agar pemeliharaan komunitas ini menjadi kewajiban dari setiap negara. Adalah hal yang penting juga bagi para elit ini untuk mengakui arti penting dari kesejahteraan dan stabilitas tatanan internasional. Diplomasi tingkat tinggi pada abad ke-19 menjamin adanya pengakuan ini. Keefektifan dari suatu concert pasca Perang Dingin bergantung pada penerimaan oleh China dan Russia atas aturan dan norma yang sebagian besar dikembangkan oleh fihak Barat di dalam sistem yang ada sekarang ini, namun tak satupun dari negara kuat ini yang telah menunjukan penerimaan jangka panjang atas aturan-aturan ini.
Suatu sistem concert tidak berarti bahwa tidak ada persaingan di antara negara-negara kuat dan saling memperebutkan kekuasaan di kalangan anggota concert tidak bisa muncul. Malahan, suatu concert adalah lebih efektif dalam mengelola konflik seperti itu daripada mencoba menghilangkannya. Namun, suatu perubahan signifikan di dalam status quo harus dicapai melalui konsensus dari para anggota concert. Pada akhirnya, semua negara kuat harus bersepakat bahwa stabilitas dari tatanan internasional atau regional adalah lebih penting dibanding satu keluhan tertentu tentang status quo.
Sejauh ini kita telah berbicara tentang tiga tipe sistem keamanan regional, yang semuanya mendasarkan stabilitas dan keamanan merea pada ancaman hukuman untu setiap aksi agresi. Di dalam pendekatan-pendekatan ini, terdapat juga penerimaan bersama atas suatu definisi sempit keamanan yang berfokus pada ancaman-ancaman militer terhadap keamanan dan keamanan dari berbagai negara adalah tujuan utama dari sistem tersebut. Dalam tiga bagian berikut, pendekatan-pendekatan alternatif terhadap keamanan regional akan dibahas. Pendekatan-pendekatan ini mempunyai suatu definisi yang lebih luas atas keamanan dan mencakup ancaman-ancaman non-militer terhadap keamanan.

Keamanan Bersama (Common Security)
Pendekatan alternatif pertama yang akan dibahas adalah keamanan bersama. Walaupun fokus utama dari pendekatan ini tetap pada cara-cara militer dalam keamanan, pendekatan ini memperluas definisi keamanan dengan mengakui saling ketergantungan keamanan dari semua negara di dalam sistem internasional. Konsep keamanan bersama pertama kali diluncurkan pada 1982 oleh Independent Commission on Disarmament and Security Issues (yang umumnnya disebut Palme Commission dari nama ketua komisi Olof Palme, perdana menteri Swedia). Komisi ini terdiri dari enam belas anggota yang mewakili NATO, Warsaw Treaty Organisation, negara-negara netral Eropa, Jepang dan negara-negara dunia Ketiga. Komisi ini berkomitmen untuk menemukan suatu alternatif terhadap struktur aliansi dua kutub Perang Dingin. Keamanan bersama seperti yang didefinisikan dalam laporan komisi ini dirancang untuk menjadi suatu proses jangka panjang dan melibatkan suatu upaya untuk mengubah pemikiran yang menyebabkan dan melanggengkan perlombaan senjata adi kuasa dan mencegah kontrol dan perlucutan senjata. Salah satu asumsi intinya adalah bahwa senjata nuklir menciptakan suatu level saling ketergantungan strategis antara dua pesaing adi daya, Amerika Serikat dan Uni Soviet, di mana tak satupun yang bisa mencapai keamanan. Maksudnya, cara-cara yang diadopsi masing-masing fihak untuk menjamin keamanannya sendiri pada akhirnya akan menjamin adanya kerusakan bersama jika senjata-senjata nuklir tersebut benar-benar digunakan.
Karena itu, keamanan bersama didasarkan pada prinsip bahwa, di dalam zaman nuklir, keamanan unilateral tak lagi dimungkinkan karena para negara menjadi semakin saling bergantung secara ekonomi, budaya, politik dan militer dan keamanan abadi tidak akan bisa dicapai melalui perlombaan senjata yang dipicu oleh saling curiga. Yang ada, keamanan perlu didasarkan pada suatu komitmen bersama terhadap kelangsungan hidup bersama dan pengakuan atas masalah keamanan legitimate fihak yang lain. Karena itu para negara perlu untuk mengadosi kebijakan-kebijakan keamanan yang tidak mengancam keamanan negara-negara lain di kawasan tersebut. Karena itu, keamanan bersama utamanya difokuskan pada prinsip pertahanan non-provokatif.
Pertahanan non-provokatif mengacu pada pengembangan kekuatan militer yang murni defensif bukannya kekuatan ofensif. Usulan yang paling umum untuk kekuatan militer seperti itu adalah agar para negar terus membentuk militer yang profesional namun juga memperlengkapinya dengan persenjataan yang sepenuhnya defensif: yaitu, persenjataan yang efesien dalam urusan pertahanan namun tidak mempunyai kemampuan-kemampuan ofensif jarak jauh. Suatu negara yang mengupayakan pertahanan non-provokatif pasti tidak memberikan ancaman militer pada fihak-fihak yang ada di luar perbatasannya namun mempunyai suatu kemampuan yang kuat untuk menolak serangan apapun dari para pesaingnya. Hal ini bisa berupa pertahanan konvensional di perbatasan, dengan pertahanan statis seperti ranjau, jebakan tank dan pembentengan permanen yang dipertahanan oleh serdadu militer dan milisi sipil, yang diikuti oleh resistensi sipil terhadap setiap pendudukan negara tersebut oleh musuh jika pertahanan konvensional tersebut hancur.
Pertahanan non-provokatif dan keamanan bersama pada umumnya memberikan suatu situasi di mana para negara bisa melepaskan diri dari konsep realist tentang dilema keamanan. Yaitu, aksi yang diambil suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri (kesiapan militer) tidak mempengaruhi tingkat keamanan yang dirasakan oleh negara lain di dalam sistem tersebut. Dengan menghilangkan dilema keamanan, pertahanan non-provokatif menciptakan kondisi-kondisi militer paling menjanjikan untuk penyelesaian ketegangan-ketegangan politis.
Namun, memang sistem ini mempunyai beberapa implikasi negatif. Pertama, sistem ini mengasumsikan bahwa para rezim yang mengimplementasikan strategi tersebut bisa memegang kekuasaan berdasarkan kesepakatan bersama bukannya berdasarkan kekuatan. Karena pertahanan non-provokatif membutuhan tingkat partisipasi yang lebih besar oleh rakyat, rezim-rezim represif kurang kemungkinannya untuk mengadopsi langkah ini karena itu akan berarti pemberian senjata pada rakyat, yang bisa digunakan untuk menggulingkan reaim yang sedang berkuasa. Kedua, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertahanan non-provokatif akan juga muncul jika sistem ini diadopsi hanya oleh sedikit negara di suatu kawasan. Negara-negara yang memang mengadopsi struktur-struktur pertahanan non-provokatif akan menjadi rapuh terhadap serangan-serangan seperti pengeboman dari laut atau artileri dari luar perbatasan nasionalnya, dan dikarenakan sifat pertahanan non-provokatif itu sendiri, negara akan mempunyai kapasitas serangan balasan yang sangat kecil. Para negara ini juga tidak mungkin untuk membentuk aliansi dengan anggota-anggota lain kawasan tersebut, karena mereka tidak akan mampu untuk menawarkan terlalu banyak dalam mendukung anggota aliansi yang lain. Terakhir, jika sifat deterrent dari struktur militer ini gagal, maka semua pertempuran akan terjadi di teritorinya sendiri dan melibatkan penduduk sipilnya sendiri.


Keamanan Komprehensif (comprehensive security)
Sistem keamanan alternatif kedua yang dikembangkan selama Perang Dingin adalah keamanan komprehensif. Keamanan komprehensif mempunyai du bentuk utama, yang salah satunya diadopsi oleh Jepang dan yang satunya dikembangkan oleh banyak negara Asia Tenggara melalui ASEAN. Sejak berakhirnya PD II, Jepang telah berupaya untuk memperluas pemahamannya tentang keamanan dengan memasukan isu-isu non militer. Pada akhir 1970-an, konsep keamanan komprehensif menjadi dasar bagi kebijakan resmi keamanan Jepang. Ebijakan komprehensif berupaya memperluas fokus tunggal militer tradisional dengan memasukan juga isu-isu ekonomi dan militer dan juga membahas keamanan pada level-level domestik, bilateral, regional dan global. Berdasar konsep ini kebijakan keamanan Jepang berupaya membahas masalah-masalah tersebut karena kebergantungan Jepang pada import sumber daya alam yang vital. Konsep ini juga mencakup implikasi-implikasi keamanan dari kesepakatan-kesepakatan komersilnya, khususnya yang berkaitan dengan ekspor teknologi guna-ganda pada negara-negara yang disebut ‘jahat’.
Konsep Asia lain tentang keamanan komprehensif telah juga memperluas definisi keamanan dengan mencakup prinsip-prinsip’pembangunan nasional berimbang melalui upaya-upaya dalam segala aspek kehidupan: ideologis, politis, ekonomi, sosial budaya dan militer’. Bentuk keamanan komprehensif ini diupayakan oleh para negara ASEAN melalui konsep kepegasan nasional. Kepegasan nasional adalah suatu strategi pandangan sempit di mana suatu negara memperkuat kepegasannya terhadap ancaman-ancaman keamanan dengan menciptakan suatu lingkungan internasional politik dan ekonomi yang stabil. Jika semua negara ASEAN mencapai kepegasan nasional, kepegasan regional akan terwujud karena kekuatan-kekuatan eksternal tidak akan mampu untuk mendestabilitase negara-negara ini dengan mendukung kelompok-kelompok subversif di dalam komunitas. Hal ini bisa diperkuat dengan kerjasama erat dalam masalah-masalah politik, ekonomi dan keamanan di kalangan negara anggota ASEAN. Namun, proses ini cenderung untuk melegitimasi masalah-masalah keamanan dari rezim-rezim otoriter di Asia Tenggara dan sistem ini tidak menawarkan suara bagi masalah-masalah keamanan non-pemerintah. Kebijakan kepegasan nasional dan ASEAN dirancang untuk melindungi rezim yang sedang memerintah, bukannya semua warga negara dan teritori negara tersebut. Karena itu, walaupun kepegasan nasional mempunyai suatu efek positif pada stabilitas rezim, hal ini bisa memberikan suatu dampak negatif pada pembangunan bangsa dengan membuat kelompok-kelompok minoritas untuk menjadi lebih terasingkan lagi dari rezim terkait dan kelompok mayoritas yang diwakilinya.

Keamanan Kooperatif (cooperative security)
Struktur alternatif terakhir yang akan dibahas disini adalah keamanan kooperatif. Seperti  keamanan bersama dan keamanan komprehensif, keamanan kooperatif mencoba untuk memperdalam pemahaman tentang saling menguntungkannya keamanan dan juga untuk memperluas definisi keamanan tak hanya masalah militer tradisional dengan mencakup masalah-masalah lingkungam, ekonomi dan sosial. Keamanan kooperatif tidak menawarkan suatu set formula tentang bagaimana seharusnya sistem-sistem keamanan regional distruktur, namun melakukan suatu proses bertahap yang berupaya mengubah sikap-sikap pembuat kebijakan negara tentang keamanan dan menawarkan alternatif-alternatif untuk definisi keamanan dari fokus sempit militer semata. Dalam hal ini, keamanan kooperatif berupaya mengubah perilaku negara dari perilaku bersaing dengan negara-negara lain menjadi perilaku bekerja sama dengan negara-negara tersebut. Apa yang benar-benar diberikan keamanan kooperatif adalah suatu suatu cara untuk menantang ketakutan-ketakutan yang selalu muncul atau bertahan lama, untuk mengatasi keraguan yang menyertai pengambilan resiko politik, untuk menurunkan dinding-dinding yang dibangun antara masyarakat, pemerintah dan negara pada saat bangkitnya periode-periode kolonial, pra-kemerdekaan dan Perang Dingin, dan untuk melampaui penghalang-penghalang kepentingan nasional dan sektarian. Pendekatan kerjasama keamanan terhadap keamanan regional diusulkan pada awal 1990-an oleh Canada dan kemudian Australia sebagai suatu sarana yang lebih efektif untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik menyusul berakhirnya Perang Dingin. Dalam suatu pidato pada ASEAN Post Ministerial Conference tahun 1983, salah satu pendukung yang paling bersemangat dari kerjasama kooperatif, mantan PM Australia Gareth Evans, menyatakan bahwa kerjasama kooperatif dirancang untuk mendorong ide bahwa tak satupun negara yang bisa menangani beragam jenis masalah keamanan yang menghadapi komunitas dunia. Hanya melalui suatu respon kolektif, yang didasarkan pada kolaborasi multilateral, barus solusi bisa ditemukan untuk masalah-masalah ini. ‘Di dalam definisi Kanada, keamanan adalah lebih dari sekedar ketiadaan perang; keamanan adalah adanya suatu perdamaian yang stabil dan makmur.’
Penggunaan istilah ‘keamanan kooperatif’ mendorong suatu pendekatan konstruktivist terhadap keamanan regional. ‘Istilah ini cenderung berkonotasi dengan konsultasi bukannya dengan konfrontasi, penentraman hati daripada deterrence, transparansi dibanding kerahasiaan, pencegahan dibanding koreksi, dan saling ketergantungan bukannya unilateralisme.’ Pendekatan keamanan kooperatif diarahkan pada pengembangan suatu pemahaman yang berlaku di kawasan tersebut tentang saling menguntungkannya keamanan yang didasarkan pada saling penentraman hati (reassurance) bukannya deterrence. Pengembangan penentraman hati tersebut bisa juga memberikan suatu jalan keluar dari dilema keamanan yang menyertai strategi-strategi politik kekuatan realist. Reassurance dikembangkan melalui peningkatan ‘transparansi’ kekuatan militer, dan langkah-langkah pembangunan kepercayaan dan keamanan (CSBM). Hal-hal ini adalah penting karena bisa membantu mengurangi rasa saling tidak percaya di kalangan negara dengan menfasilitasi penilaian ancaman yang efektif oleh negara-negara partisipan. Transparansi yang lebih besar didapatkan melalui laporan bersama intelegen, pertukaran pengamat pada latihan-latihan militer dan inspeksi bersama pangkalan-pangkalan militer. Langkah-langkah pembangunan rasa percaya dan keamanan mencakup program-program latihan dan pembelian senjata bersama, demiliterisasi perbatasan bersama, proyek pengembangan gabungan, pembentukan segitiga-segitiga pertumbuhan, pertukaran saling menguntungkan dari surat-surat kebijakan pertahanan dan interaksi dan konsultasi yang lebih besar di kalngan para pembuat kebijakan regional.
Keamanan kooperatif juga menggabungkan komponen-komponen militer dan non-militer dari keamanan. Kerjasama kooperatif berbeda dengan keamanan bersama dalam hal bahwa pendekatan ini melihat suatu pendekatan yang lebih bertahap terhadap pengembangan lembaga-lembaga multilateral. Ini adalah suatu pendekatan yang lebih fleksibel yang memungkinkan adanya pengembangan kebijakan keamanan informal atau ad hoc, termasuk memasukkan aliansi-aliansi bilateral yang telah ada sebagai basis untuk mengembangkan suatu struktur keamanan yang lebih bersifat multilateral. Keamanan kooperatif dirancang untuk menfasilitasi keterkaitan-keterkaitan antara beragam jenis masalah politik, ekonomi dan sosial. Sistem ini berupaya membangun rasa saling percaya di kalangan negara-negara kawasan tersebut melalui, diskusi, negosiasi, kerjasama dan kompromi. Pengembangan  keamanan kooperatif adalah suatu proses evolusioner, bukan dipandu oleh suatu strategi besar, namun didapatkan dengan melembagakan serangkaian instrumen yang secara individual memberi kontribusi pada prinsip-prinsip keamanan kooperatif.
Satu elemen penting dari proses pembangunan rasa saling percaya di dalam keamanan kooperatif adalah pengembangan mekanisme diplomasi preventif yang bisa mengidentifikasi dan menangani sejumlah isu dan situasi sebelum hal-hal tersebut mencapai level krisis, dan pada khususnya sebelum masalah-masalah tersebut melewati ambang batas kekerasan. Langkah-langkah pembangunan kepercayaan bisa diarahkan menuju dua prioritas: langkah-langkah yang melarang penggunaan kekuatan militer sebagai satu alat pemaksaan, dan langkah-langkah yang mengurangi potensi adanya serangan-serangan balasan. Langkah-langkah ini harus berfokus pada aktivitas-aktivitas militer terbuka seperti manuver, pergerakan pasukan dan penempatan kekuatan. Langkah-langkah ini juga harus mengembangkan standar-standar untuk aktivitas militer rutin melalui garis-garis panduan pelaporan, observasi dan pembatasan besar dan cakupan aktivitas seperti itu. Diplomasi preventif bisa dilakukan oleh rezim-rezim yang sedang berkuasa, namun dikarenakan kecenderungan dari para pemerintah untuk mengabaian atau tidak mau merespon pada masalah sebelum masalah tersebut mencapai tahapan krisis, LSM dan individu bisa menawarkan saran/nasihat mengenai strategi-strategi alternatif yang mungkin untuk menyelesaikan pertikaian atau mengenai konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan para negara. Diplomasi preventif bisa dilaksanakan melalui sejumlah pendekatan yang beragam, termasuk – namun tidak terbatas pada - dialog-dialog informal, good office, mediasi fihak ketiga dan konsiliasi.
Kerjasama kooperatif utamanya berfokus pada pencegahan konflik antar negara dan karenanya cenderung bekerja untuk mempertahankan status quo antar dan di dalam negara. Namun, keamanan kooperatif bisa juga digunakan untuk memelihara keamanan para individu dan kelompok di dalam negara. LSM tidak hanya bisa terlibat dalam manajemen krisis-krisis internasional, para aktor non-negara bisa juga mendapatkan suatu hak suara mengenai masalah-masalah keamanan, apakah mereka itu bersifat internal ataupun eksternal, di dalam banyak forum internasional. Hal ini tidak menyatakan bahwa keamanan kooperatif dirancang untuk mengizinkan campur tangan eksternal di dalam masalah domestik negara, atau bahkan memaksakan bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, namun hanya bahwa suara-suara non-negara harus didengarkan.
Satu elemen penting dari keamanan kooperatif adalah pengembangan ‘kebiasaan dialog dan kooperasi’ di kalangan negara-negara regional. Terkait dalam proses ini adalah dialog keamanan ‘second track’ atau tidak resmi, di mana para akademisi dan para pejabat senior pemerintah dan militer (yang hadir dalam ‘kapasitas pribadi’) berkumpul untuk mendiskusikan beragam masalah keamanan. Di Asia Tenggara, forum-forum ini melibatkan lembaga-lembaga semi-resmi seperti ISIS dari Malaysia, CSIS dari Indonesia, ISDS dari Filipina dan SIIA dari Singapura(Malaysia's Institute for Strategic and International Studies (ISIS), Indonesia's Centre for Strategic and International Studies (CSIS), the Philippine's Institute of Security and Development Studies (ISDS) and the Singapore Institute of International Affairs (SIIA)). Pada tahun 1988, lembaga-lembaga ini membentuk ASEAN-ISIS (the Association of ASEAN Institutes for Strategic and International Studies) untuk membahasa beragam masalah keamanan regional dalam sejumlah simposium berkala, round-tables dan konferensi. Dialog-dialog keamanan second track di kawasan Asia Pasifi mencakup ISIS Asia Pacific Roundtable, yang diadakan di Kuala Lumpur, UN Regional Meetings on Confidence and Security Building Measures for the Asia Pacific tahunan, yang diadakan di Kathmandu dan beragam workshop dan konferensi yang tidak terjadwal. 'Workshops on Managing Potential Conflicts in the South China Sea' yang diketuai bersama oleh Indonesia dan Kanada adalah satu contoh baik dari dialog tidak resmi. Pelibatan para aktor regional yang tidak berpandangan sama dalam dialog-dialog ini adalah satu aspek penting dari proses keseluruhan. Status tidak resmi dari banyak forum keamanan kooperatif juga memungkinkan pelibatan para aktor non-negara, dan di dalam kasus kawasan Asia Pasifik, negara-negara de fakto seperti Taiwan bisa juga berpartisipasi. Dalam Workshops on Managing Potential Conflicts in the South China Sea, contohnya, kehadiran China dan Taiwan menambah kesan nyata pada diskusi-diskusi tersebut.
Pendekatan-pendekatan keamanan kooperatif tidak dimaksudkan untuk menggantikan arrangement  keamanan bilateral tradisional Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Aliansi-aliansi ini akan tetap menjadi bagian dari pertahanan kedaulatan nasional. Yang ada, keamanan kooperatif berupaya mengembangkan mekanisme-mekanisme yang menangani semua masalah yang terkait dengan para aktor regional. Walaupun mengakui pentingnya keterkaitan kelembagaan yang telah dikembangkan oleh serangaikan aliansi keamanan dan pertahanan bilateral Amerika Serikat di kawasan tersebut, keamanan kooperatif berupaya memperluas kerjasama regional melampaui fokus sempit dari sejumlah kecil negara tertentu yang berpandangan sama. Memanglah, salah satu masalah yang terkait dengan sistem traktat bilateral Amerika Serikat, yang dirancang berdasarkan suatu ancaman bersama, adalah bahwa tidak ada mekanisme pembangunan kepercayaan di kalangan beragam negara sekutu. Dengan berakhirnya ancaman bersama terhadap keamanan, pertikaian-pertikaian lain, yang sebelumnya terkalahkan oleh ancaman Soviet, telah bermunculan di antara para sekutu AmerikaSerikat. Satu contoh yang jelas adalah peningkatan ketegangan antara Korea Selatan dan Jepang atas kedaulatan Kepulauan Tokdo di Laut Jepang. Pada Februari 1996, Korea Selatan mengumumkan bahwa fihaknya aan memulai latihan-latihan militer di sekitar kepulauan gersang tersebut, yang juga diklaim oleh Jepang. Ini adalah suatu contoh yang sangat penting karena hal ini menunjukkan ketidakmampuan dari struktur-struktur keamanan regional yang ada sekarang untuk menfasilitasi komunikasi di antara dua negara yang keduanya anggota dari ‘struktur Aliansi Barat’ di kawasan Asia Pasifik. Kerjasama kooperatif bisa memberikan suatu konteks yang lebih luas dan membawa konsistensi dan koherensi pada beragam hubungan bilateral yang timbul di antara para negara.

Postingan seperti ini dan banyak postingan bermanfaat lainya bisa anda dapatkan rutin dengan follow / add akun ini :
  • FB page : https://shrinke.me/nNMk
  • Instagram @ayonaikkelas
  • YouTube Channel https://shrinke.me/hN54A

Silahkan add friend dan follow jika bermanfaat ya.. ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIMBOL TANDA BAHAYA, NFPA, MSDS

Menjadi seorang compliance

Menjadi Seorang GA / General Affair / Umum